Pengertian Bid'ah
Menurut Imam Syafii yang didukung oleh ulama lainnya menyatakan bahwa:
"Sesuatu yang diadakan (baru) dan bertentangan dengan kitab suci al Quran, sunnah rasul, ijma' para ulama, atau atsar (para shahabat), maka itulah bid'ah dholalah dan ini dilarang. Sedangkan suatu kebaikan yang tidak bertentangan sedikitpun dengan al Quran, sunnah, ijma' atau atsar maka yang demikian itu adalah terpuji.
(Dr. Muhammad Ibn Alwy al Maliki, Dzikriyat wa nasabat, 109).
Nabi saw memperbolehkan berbuat bid'ah hasanah
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan bid'ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah. Sebagaimana sabda beliau saw:
"Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya"
(Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
Hadits ini menjelaskan makna Bid'ah hasanah dan Bid'ah dhalalah.
Perhatikan hadits beliau saw tersebut. Bukankah beliau saw menganjurkan? Maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka lakukanlah. Alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik umat. Beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tetapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalelanya kemaksiatan. Pastilah diperlukan hal-hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman.
Inilah makna sebenarnya dari ayat Al Maidah ayat 3:
"Hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian"
Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini. Semua hal baru, yang baik, termasuk dalam kerangka syariah, sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya. Alangkah sempurnanya Islam.
Namun tentunya hal ini tidak berarti membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw. Atau bahkan menghalalkan apa-apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau saw: "Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan ...". Inilah yang disebut Bid'ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar umat tidak tercekik dengan hal yang ada di zaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid'ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits di atas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid'ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi'in.
Siapakah yang pertama memulai Bid'ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah), yang Huffadh (penghafal) Alqur'an dan Ahli Alqur'an di zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, berkata Abu Bakar Ash-Shiddiq ra kepada Zayd bin Tsabit ra:
"Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur'an. Lalu ia menyarankan agar aku (Abu Bakar Asshiddiq ra) mengumpulkan
dan menulis Al Qur'an. Aku berkata, "Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?" Maka Umar berkata padaku, "Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan". Ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Engkau (Zayd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur'an dan tulislah Al Qur'an!"
Zayd menjawab:
"Demi Allah, sungguh bagiku diperintah (untuk) memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung (yang ada), tidaklah seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur'an. Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?"
Maka Abu Bakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur'an".
(Shahih Bukhari hadits no. 4402 dan 6768)
Bila kita perhatikan konteks di atas Abu Bakar Shiddiq ra mengakui dengan ucapannya, "Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar". Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid'ah
hasanah) yaitu mengumpulkan Al Qur'an, karena sebelumnya Al Qur'an tidak terkumpul dalam satu buku. Tetapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal. Penulisan Al Qur'an adalah Bid'ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid'ah hasanah mengenai semua bid'ah adalah kesesatan, sebagai berikut. Diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan Shalat Subuh, menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang dan membuat airmata mengalir.
Kami berkata:
"Wahai Rasulullah, seakan-akan (hal) ini adalah wasiat untuk perpisahan, maka berikanlah kami wasiat."
Rasul saw bersabda:
"Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Afrika. Sungguh di antara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak_ ikhtilaf perbedaan pendapat, maka
berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan geraham kalian (kiasan untuk kesungguhan) dan hati-hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang Bid'ah _itu adalah kesesatan".
(Mustadrak Alas-shahihain hadits no. 329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa'ur rasyidin.
Sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah. Sedangkan sunnah khulafa'ur rasyidin seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Abu Bakar Shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui,
menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Al Qur'an yang selesai penulisannya di masa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah, sempurnalah sudah keempat manusia utama di umat ini, khulafa'ur rasyidin melakukan bid'ah hasanah. Abu Bakar Shiddiq ra di masa kekhalifahannya
memerintahkan pengumpulan Alqur'an Umar bin Khattab ra di masa kekhalifahannya
memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata, "Inilah sebaik-baik Bid'ah!" (Shahih Bukhari hadits no.1906)
Penyelesaian penulisan Al Qur'an di masa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Al Qur'an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy. Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui penulisan Al-Qur'an hingga selesai. Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw:
Dua kali adzan di Shalat Jumat. Tidak pernah dilakukan di masa Rasul saw. Tidak pula di masa Khalifah Abu Bakar shiddiq ra. Khalifah Umar bin khattab ra pun belum memerintahkannya. Namun baru dilakukan di masa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini. (Shahih Bulkhari hadits no. 873).
Siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan Bid'ah? Adakah pendapat mengatakan bahwa keempat khulafa'ur rasyidin ini tak paham makna _Bid'ah?
Bid'ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid'ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid'ah dhalalah. Bid'ah dhalalah ini banyak jenisnya seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat khulafa'ur rasyidin. Di antaranya pula adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah. Karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh
Khulafa'ur rasyidin, sedangkan Rasul saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf dan menasihatkan umatnya dengan, "Berpeganglah pada sunnahku dan sunnah Khulafa'ur rasyidin."
Bagaimana Sunnah Rasul saw? Beliau saw membolehkan Bid'ah hasanah. Bagaimana sunnah Khulafa'ur rasyidin? Mereka melakukan Bid'ah hasanah. Maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid'ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid'ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid'ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak
ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing. Melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat radhiyallahu'anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya ini pun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya. Tak pula Khulafa'ur rasyidin
memerintahkan menulisnya. Namun para tabi'in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula ilmu musthalahul-hadits, nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita
dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah perbuatan Bid'ah namun Bid'ah Hasanah. Demikian pula ucapan Radhiyallahu 'anhu atas sahabat yang
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat. Walaupun itu disebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah. Tak ada ayat Qur'an atau hadits Rasul saw yang memerintahkan kita untuk mengucapkan
ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para tabi'in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid'ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas. Lalu muncul pula kini Al-Quran yang
dikasetkan, di-CD-kan, program Al-Quran di ponsel, Al-Quran yang diterjemahkan. Ini semua adalah Bid'ah hasanah. Bid'ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid'ah hasanah di atas maka
semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam. Bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam?
Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu versi Al-Quran di zaman sekarang. Karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid'ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal
Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid'ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid'ah
hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (Bid'ah dhalalah).
Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua.
Ingatlah ucapan amirul mukminin pertama ini. Ketahuilah ucapannya adalah Mutiara Al-qur'an, sosok agung Abu Bakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid'ah hasanah: "sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar". Lalu berkata pula Zayd bin Haritsah ra:
"... bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw? Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abu Bakar ra) meyakinkanku (Zayd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua".
Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal-hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zayd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt. Curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat
dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid'ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa'ur rasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat. Amin.
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid'ah
al-Hafidh al-Muhaddits al-imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah (Imam Syafi'i)
Berkata Imam Syafii bahwa bid'ah terbagi dua, yaitu bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). Yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: "Inilah sebaik baik bid'ah".
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
al-imam al-hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah (Imam Qurtubi)
Menanggapi ucapan ini (dari Imam Syafi'i di atas), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi: "Seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid'ah adalah dhalalah" (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid'atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur'an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu
‘anhum. Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: "Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya" (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid'ah yang baik dan bid'ah yang sesat.
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
al-muhaddits al-hafidh al-imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
Penjelasan mengenai hadits: "Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya", Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw: "Semua yang baru adalah Bid'ah, dan semua yang Bid'ah adalah sesat". Sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid'ah yang tercela".
(Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa ulama membagi bid'ah menjadi 5, yaitu bid'ah yang wajib, bid'ah yang mandub, bid'ah yang mubah, bid'ah yang makruh dan bid'ah yang haram.
Bid'ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid'ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku ilmu
syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Bid'ah yang mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan. Sedangkan bid'ah makruh dan haram sudah jelas diketahui.
Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum. Sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid'ah".
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
al-Hafidh al-muhaddits al-imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthiy rahimahullah (Imam Suyuti)
Mengenai hadits Bid'ah Dhalalah ini bermakna "Aammun makhsush", (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah: "... yang menghancurkan segala sesuatu." (QS. Al-Ahqaf: 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur. Atau pula ayat: "Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya." (QS. As-Sajdah: 13) dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka (tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim. pen). Atau hadits: "aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini" (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati darimanakah ilmu mereka?
Berdasarkan apa pemahaman mereka? Atau seorang yang disebut Imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits? Atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam?
Walillahittaufiq
Friday, November 27, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Arsip Amas
-
▼
2009
(27)
-
▼
November
(13)
- 7 Alasan Mempromosikan Bisnis Melalui Internet
- Kisah Nyata - Kebesaran Jiwa Seorang Ibu
- Cangkir yang Cantik
- Kuatnya Sebongkah Harapan
- Bid ah
- Semua ada saatnya
- Wartawan Senyum
- Larangan dalam Tidur
- 36 Jurus pamungkas online
- Karakter Pengusaha
- "Alasan Utama Mempromosikan Suatu Bisnis Melalui I...
- Larangan dalam tidur
- Bisnis Anti Bangkrut
-
▼
November
(13)
3 comments:
Assalamualaikum Lam Kenal Kunjungi www.markazsunnah.co.cc,www.desasalafy.co.cc,www.desasalaf.co.cc moga bermanfaat
Wa alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh.... Salam kenal juga. Terima kasih sudah berkunjung keblog saya...
sukron...ana copy materi antum untuk liqo hari ini..sikron
Post a Comment